Berita  

Dittipidum Bareskrim Polri Ungkap Kasus Perdagangan Orang: Program Magang ke Jepang Berubah Menjadi Eksploitasi Buruh

Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah mengungkap sebuah kasus perdagangan orang yang dilakukan dengan modus program magang ke Jepang. Pola kejahatan ini terbongkar setelah dua korban, ZA dan FY, melaporkan kasus tersebut ke KBRI Tokyo, Jepang. Mereka bersama dengan sembilan mahasiswa lainnya dikirim oleh sebuah politeknik yang terdaftar secara resmi di Sumatera Barat (Sumbar) untuk menjalani program magang di Jepang, namun kenyataannya mereka malah dipekerjakan sebagai buruh.

Korban-korban awalnya tertarik untuk mengikuti program magang di politeknik tersebut karena tersangka berinisial G, yang pada saat itu menjabat sebagai direktur politeknik periode 2013-2018, menjelaskan keunggulan politeknik tersebut dengan menawarkan kesempatan magang di Jepang. Meskipun pada saat korban diterima untuk program magang pada tahun 2019, tersangka G sudah digantikan oleh EH sebagai direktur politeknik. Namun, EH juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Menurut Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro dari Dittipidum Bareskrim, selama satu tahun masa magang, para korban dipekerjakan bukan sebagai magang seperti seharusnya, tetapi sebagai buruh. Mereka bekerja selama 14 jam per hari mulai dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 10.00 malam, tanpa mendapatkan hari libur. Waktu istirahat yang diberikan hanya sekitar 10-15 menit untuk makan. Selain itu, para korban juga tidak diizinkan untuk beribadah. Meskipun korban mendapatkan upah sebesar 50.000 Yen atau sekitar Rp 5 juta per bulan, mereka juga diharuskan memberikan dana kontribusi sebesar 17.500 Yen atau sekitar Rp 2 juta per bulan kepada kampus.

Djuhandani juga menjelaskan bahwa para korban diberangkatkan menggunakan visa pelajar yang berlaku selama satu tahun. Namun, ketika masa berlaku visa telah habis, pihak perusahaan di Jepang memperpanjang visa mereka menjadi visa kerja selama 6 bulan. Ketika para korban mengetahui hal ini, mereka melaporkannya kepada politeknik yang mengirim mereka. Namun, alih-alih membantu memulangkan mahasiswanya, pihak politeknik justru mengancam korban dengan mengatakan bahwa jika kerja sama antara politeknik dan perusahaan Jepang rusak, maka korban akan di-drop out (DO).

Para tersangka dalam kasus ini dijerat dengan Pasal 4 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang memiliki ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp 600 juta. Selain itu, Pasal 11 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga diterapkan, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp 600 juta.

Kasus ini menunjukkan perlunya tindakan yang tegas dalam memerangi perdagangan orang yang merugikan para korban. Pihak berwenang harus meningkatkan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan dan program magang untuk mencegah penyalahgunaan dan melindungi hak-hak para peserta program. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa undang-undang yang ada diterapkan dengan baik dan bahwa korban mendapatkan perlindungan hukum yang layak serta bantuan yang diperlukan untuk pemulihan mereka.

Exit mobile version